SISTEM PEMILU TIMBULKAN PRIMODIALISME LOKAL
Fenomena pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang bergulir sejak era reformasi mendapat tanggapan beragam masyarakat. Sejumlah kalangan menilai, masyarakat yang dapat melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan kemajuan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun dalam perkembangannya ada suatu kenyataan yang juga sangat menarik dan mendapat perhatian masyarakat.
Majunya istri dari mantan maupun incumbent kepala daerah menjadi persoalan baru. Fenomena ini dikuatirkan sejumlah kalangan akan menumbuhkembangkan primodialisme di tingkat lokal.
“Salah satu ekses yang diperkirakan banyak orang dan sekarang terjadi adalah pengelolaan kebijakan otonomi daerah yang tidak tuntas, menyebabkan apa yang saya sebut sebagai tumbuh berkembangya primodialisme di tingkat lokal yang cukup kuat,” kata Anggota Komisi II Arife Wibowo dari Fraksi PDI Perjuangan.
Ia menilai hal itu terjadi karena yang bersangkutan memiliki akses ke sumber daya politik, akses sumber daya sosial dan akses terhadap sumber daya dana. Menurut Arief, ketika ketiga pilar itu menjadi satu maka yang terjadi adalah timbulnya “raja-raja kecil”.
“Ini tidak sepenuhnya karena proses itu saja tapi karena budaya politik kita yang belum bertransformasi menjadi budaya politik yang demokratik,” jelas Arief.
Kenyataan seperti itu menurutnya harus segera diubah. Bila tidak segera diubah, dikuatirkan sumber daya strategis yang ada didaerah akan dikuasai segelintir elit lokal. “Lagi-lagi rakyat yang tidak diuntungkan,” papar Arief.
Ia menegaskan untuk memperbaiki persoalan ini maka sistem pemilu yang ada sekarang harus diubah, begitupun dengan sistem pemerintahannya yang juga harus dibenahi.
“Kalau sistem pemilunya memang membiarkan tanpa disadari tumbuhnya kekerabatan yang kental, menguatnya ego primodialisme sempit ditingkat lokal, kalau itu dibiarkan hasilnya seperti saat ini,” katanya.
Selain persoalan diatas, maraknya fenomena politik uang dalam Pilkada yang diindikasikan semakin menguat tentu menjadi ancaman serius perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini dikuatirkan akan mematikan kesempatan masyarakat dalam berpartisipasi memajukan kehidupan berdemokrasi.
“Nanti tidak akan ada kesempatan yang secara demokratis akan tumbuh bagi setiap orang untuk bisa mencalonkan sekaligus didukung ketiadaan atas sumber daya itu,” jelas Arife Wibowo dalam perbincangan dengan Parlementaria, Senin (31/5).
Lebih jauh, Arief menegaskan, bila tidak segera dilakukan perubahan sistem maka segelintir orang yang mempunyai tiga sumber dana diatas yang akan menjadi pemimpin daerah. “Belum tentu dia akan memperjuangkan kepentingan rakyat dan faktanya memang dia lebih banyak didikte oleh kepentingan kekerabatan dan kepentingan modal,” katanya.
“Itu yang harus dihindari,” tegas Arief. (bs/iw) Foto:Iwan Armanias.